Kamis, 07 Mei 2015

Preparasi Fosil



Preparasi Fosil
Preparasi adalah proses pemisahan fosil dari batuan dan material pengotor lainnya. Setiap jenis fosil memerlukan metode preparasi yang. Proses ini pada umumnya bertujuan untuk memisahkan mikrofosil yang terdapat dalam batuan dari material-material lempung (matrik) yang menyelimutinya.
Untuk setiap jenis mikrofosil, mempunyai teknik preparasi tersendiri. Polusi, terkontaminasi dan kesalahan dalam prosedur maupun kekeliruan pada pemberian label, harus tetap menjadi perhatian agar mendapatkan hasil optimum. Beberapa contoh teknik preparasi untuk foraminifera & ostracoda, nannoplankton dan pollen dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
  • Foraminifera kecil & Ostracoda
Untuk mengambil foraminifra kecil dan Ostracoda, maka perlu dilakukan preparasi dengan metoda residu. Metoda ini biasanya dipergunakan pada batuan sedimen klastik halus-sedang, seperti lempung, serpih, lanau, batupasir gampingan dan sebagainya.
Caranya adalah sebagai berikut, yaitu:
  1. Ambil ± 100 – 300 gram sedimen kering.
  2. Apabila sedimen tersebut keras-agak keras, maka harus dipecah secara perlahan dengan menumbuknya mempergunakan lalu besi/porselen.
  3. setelah agak halus, maka sedimen tersebut dimasukkan ke dalam mangkok dan dilarutkan dengan H2O2 (10 – 15%) secukupnya untuk memisahkan mikrofosil dalam batuan tersebut dari matriks (lempung) yang melingkupinya.
  4. Biarkan selama ± 2-5 jam hingga tidak ada lagi reaksi yang terjadi.
  5. Setelah tidak terjadi reaksi, kemudian seluruh residu tersebut dicuci dengan air yang deras diatas saringan yang berukuran dari atas ke bawah adalah 30-80-100 mesh.
  6. Residu yang tertinggal pada saringan 80 & 100 mesh, diambil dan kemudian dikeringkan didalam oven (± 600 C).
  7. Setelah kering, residu tersebut dikemas dalam plastik residu dan diberi label sesuai dengan nomor sampel yang dipreparasi.
  8. Sampel siap dideterminasi.
Alat – alat yang digunakan adalah:
Saringan dengan 30 – 80 – 100 mesh
Wadah pengamatan mikrofosil.
Jarum penguntik.
Slide karton (model Jerman, 40 x 25 mm )
Slide karton (model internasional, 75 x 25 mm
  • Foraminifera besar
Istilah foram besar diberikan untuk golongan foram bentos yang memiliki ukuran relative besar, jumlah kamar relative banyak, dan struktur dalam kompleks. Umumnya foram besar banyak dijumpai pada batuan karbonat khususnya batugamping terumbu dan biasanya berasosiasi dengan algae yang menghasilkan CaCO3 untuk test foram itu sendiri.
Di Indonesia foraminifera bentos besar sangat banyak ditemukan dan bisa digunakan untuk menentukan umur relatif batuan sedimen dengan menggunakan zonasi foraminifera bentos besar berdasarkan Adams (1970), dengan demikian untuk menganalisanya dilakukan dengan mempergunakan sayatan tipis. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
  1. Contoh batuan yang akan dianalisis disayat terlebih dahulu dengan mesin penyayat/gurinda. Arah sayatan diusahakan memotong struktur tubuh foraminifera besar yang ada didalamnya.
  2. Setelah mendapatkan arah sayatan yang dimaksud, contoh tersebut ditipiskan pada kedua sisinya.
  3. Poleskan salah satu sisi contoh tersebut dengan mempergunakan bahan abrasif (karbondum) dan air.
  4. Setelah itu, tempel sisi tersebut pada objektif gelas (ukuran internasional 43 x 30 mm) dengan mempergunakan Kanada Balsam.
  5. Tipiskan kembali sisi lainnya hingga contoh tersebut menjadi transparan dan biasanya ketebalan sekitar 30-50 μm.
  6. Setelah ketebalan yang dimaksud tercapai, teteskan Kanada Balsam secukupnya dan kemudian ditutup dengan “cover glass”. Beri label.
  7. Sampel siap dideterminasi
  • Nannoplankton
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop optik. Dapat dilakukan dengan dua metode preparasi, yaitu:
  • Quick smear-slide/metode poles
  • Smear slide/metode suspense
  1. Ambil satu keping contoh batuan segar sebesar ± 10 gr., bersihkan dari kotoran yang menempel dengan sikat halus.
  2. Cungkil bagian dalam dari sampel tersebut dan letakkan cukilan tersebut di atas objektif gelas.
  3. Beri beberapa tetes aquades untuk melarutkan batuannya dan ratakan.
  4. Buang kerikil-kerikil yang kasar yang tidak larut.
  5. Panaskan dengan hot plate objektif gelas tersebut hingga larutan tersebut kering.
  6. Setelah kering, bersihkan/tipiskan dengan cover glass supaya lebih homogen dan tipis.
  7. Biarkan mendingin, beri label, sampel siap dideterminasi.
  • Smear Slide / Metode suspensi
Membutuhkan waktu yang lama, namun hasilnya lebih baik.
  1. Ambil contoh batuan dengan berat 10-25 gr. Bersihkan dan usahakan    diambil dari sampel yang segar.
  2. Larutkan dalam tabung gelas dengan aquades dan sedikit Natrium bikarbonat (Na2Co3).
  3. Masukkan tabung tersebut kedalam ultrasonik vibrator ±1 jam tergantung pada kerasnya sampel.
  4. Saring larutan tersebut dengan mesh 200, kemudian tampung suspensi dan butiran halusnya kedalam bejana gelas.
  5. Biarkan suspensi tersebut mengendap.
  6. Teteskan 1-2 tetes pipet kecil dari larutan tersebut di atas gelas objektif dan  panaskan dengan hot plate.
  7. Setelah kering teteskan kanada balsam dan dipanaskan hingga lem tersebut matang dan tutup dengan cover glass.
  8. Dinginkan dan beri label.
  9. Sampel siap dideterminasi.
  • Polen
Untuk melepaskan pollen/spora dari mineral-mineral yang melimgkupinya, dapat dilakukan dengan beberpa tahap preparasi yang mebutuhkan ketelitian dan ditunjang oleh fasilitas laboratorium yang lengkap, seperti cerobong asap, ruang asam, tabung-tabung reaksi, sentrifugal dan sebagainya. Beberapa larutan kimia yang dibutuhkan adalah: HCl, HF, KOH, dan HNO3.

Penyajian Mikrofosil
Dalam penyajian mikrofosil ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu:
  1. Observasi
Observasi adalah pengamatan morfologi rincian mikrofosil dengan mempergunakan miroskop. Setelah sampel batuan selesai direparasi, hasilnya yang berupa residu ataupun berbentuk sayatan pada gelas objek diamati di bawah mikroskop. Mikroskop yang dipergunakan tergantung pada jenis preparasi dan analisis yang dilakukan. Secara umum terdapat tiga jenis mikroskop yang dipergunakan, yaitu mikroskop binokuler, mikroskop polarisasi dan mikroskop scanning-elektron (SEM).
  1. Determinasi
Determinasi merupakan tahap akhir dari pekerjaan mikropaleontologis di laboratorium, tetapi juga merupakan tahap awal dari pekerjaan penting selanjutnya, yaitu sintesis. Tujuan determinasi adalah menentukan nama genus dan spesies mikrofosil yang diamati, dengan mengobservasi semua sifat fisik dan kenampakan optik mikrofosil tersebut.
  1. Deskripsi
Berdasarkan observasi yang dilakukan pada mikrofosil, baik sifat fisik maupun kenampakan optiknya dapat direkam dalam suatu deskripsi terinci yang bila perlu dilengkapi dengan gambar ilustrasi ataupun fotografi. Deskripsi sangat penting karena merupakan dasar untuk mengambil keputusan tentang penamaan mikrofosil yang bersangkutan.
  1. Ilustrasi
Pada tahap ilustrasi, gambar dan ilustrasi yang baik harus dapat menjelaskan berbagai sifat khas tertentu dari mikrofosil itu. Juga, setiap gambar ilustrasi harus selalu dilengkapi dengan skala ataupun ukuran perbesarannya.
  1. Penamaan
Seorang sarjana Swedia Carl Von Line (17071778) yang kemudian melatinkan namanya menjadi Carl Von Linnaeus membuat suatu hukum yang dikenal dengan Law Of Priority, 1958 yang pada pokoknya menyebutkan bahwa nama yang telah dipergunakan pada suatu individu tidak dipergunakan untuk individu yang lain.
Nama kehidupan pada tingkat genus terdiri dari satu kata sedangkan tingkat spesies terdiri dari dua kata, tingkat subspecies terdiri dari tiga kata. Nama-nama kehidupan selalu diikuti oleh nama orang yang menemukannya. Contoh penamaan fosil sebagai berikut:
Globorotalia menardi exilis Blow, 1998, arti dari penamaan adalah fosil hingga subspesies diketemukan oleh Blow pada tahun 1969
Globorotalia ruber elogatus (D’Orbigny), 1826, arti dari n. sp adalah  spesies baru.
Pleurotoma carinata Gray, Var Woodwardi Martin, arti dari penamaan adalah Gray memberikan nama spesies sedangkan Martin memberikan nama varietas.
Globorotalia acostaensis pseudopima Blow, 1969,s arti dari n.sbsp adalah subspecies.
Dentalium (s.str) ruteni Martin, arti dari penamaan adalah fosil tersebut sinonim dengan dentalium rutteni yang diketemukan Martin.
Globorotalia of tumd, arti dari penamaan ini adalah penemu tidak yakin apakah bentuk tersebut betul Globorotalia tumida tetapi dapat dibandingkan dengan spesies ini.
Spaeroidinella aff dehiscen, arti dari penamaan tersebut adalah fosil ini berdekatan (berfamily) dengan sphaeroidinella dehiscens. (aff = affiliation)
Ammobaculites sp, artinya mempunyai bermacam-macam spesies
Recurvoides sp, artinya spesies (nama spesies belum dijelaskan).

Ekologi Foraminifera Planktonik dan Benthonik

Rasio Planktonik : Bentonik
Kumpulan fosil foraminifera planktonik pada batuan sedimen menyediakan informasi yang berguna tentang keadaan masa lampau kolom air, termasuk suhu, stratifikasi, dan produktivitas. Seperti banyak organisme laut lainnya, sebagian besar spesies foraminifera planktonik modern beradaptasi dengan perubahan rentang suhu dan salinitas. Sebagian besar spesies foraminifera planktonik yang hidup secara vertikal dikelompokkan dalam zona fotik di mana persediaan makanan utama berada dan melimpah. Foraminifera ini  berperan penting baik sebagai mangsa maupun predator dalam tingkat trofik jaring-jaring makanan. Selain menempati relung trofik beragam,  foraminifera planktonik menempati bagian yang berbeda dari setiap kolom air bagian atas, dan sejumlah spesies akan berubah habitat secara vertikal berdasarkan perubahan kolom air.
Perubahan vertikal lingkungan hidup ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seperti peningkatan jumlah kamar, meningkatkan ukuran tes, dan karakteristik lainnya seperti ciri morfologi dan perkembangbiakan. Sebagai contoh, beberapa takson, yang  hidup di perairan fotik dari mixing layer sebagian besar foraminifera hidup singkat sebelum menambahkan kalsit sekunder dan tenggelam ke kedalaman yang lebih besar untuk gametogenesis (pelepasan gamet). Gametogenesis dan pertumbuhan awal foraminifera muda dapat terjadi di sekitar zona dekat dasar lapisan campuran atau termoklin atas di mana kondisi yang optimal untuk fitoplankton berproduktivitas (lapisan campuran memiliki intensitas cahaya memadai dari atas dan pasokan hara adveksi dari bawah).
Scanning Electon Microscope (SEM) of Deep Sea Foraminifera
Studi batuan sedimen telah menunjukkan bahwa musim juga mempengaruhi perkembangan forminifera. Oleh karena itu, kumpulan sedimen foraminifera planktonik di dasar laut mencerminkan suksesi musiman dari spesies. Suksesi musiman takson mencerminkan perubahan suhu air, struktur kepadatan air kolom, dan trofik nutrien termasuk perubahan musim mempengaruhi produktivitas primer. Suksesi bahkan dapat terjadi pada skala waktu geologi dari siklus glasial dan interglasial seperti yang didokumentasikan oleh Globorotalia menardii, yang mencapai maksimum selama periode interglasial 100.000 tahun terakhir.
Analisis dari planktonik : rasio bentonik dari beberapa kedalaman mengungkapkan bahwa daerah neritik tengah hingga transisi laut dalam (~ 100 m) ditandai dengan 20-60% planktonik dan naik ke 60-90% planktonik pada kedalaman ~ 200 m. Foraminifera planktonik merupakan karakteristik dari air laut yang murni. Namun rasio ini juga akan ditentukan oleh kehadiran nutrien pada permukaan maupun bawah permukaan laut yang akan mempengaruhi rasio planktonik : bentonik sehingga faktor tersebut maupun faktor lainnya perlu dipertimbangkan misalnya saja upwelling yang terjadi pada tepi benua dapat mengurangi jumlah oksigen terlarut di kedalaman yang membuat foraminifera bentonik berkurang dan merubah rasio planktonik : bentonik.

Perubahan Rasio Agglutinated Benthic : Calcareous Benthic
Dalam batas-batas laut dan habitat terrigenous neritik, salinitas, alkalinitas, dan saturasi karbonat dari air dapat sangat mempengaruhi komposisi taksonomi hidup kumpulan foraminifera bentik (biocoenoses). Kumpulan beragam calcareous dan agglutinated foraminifera bentik mencirikan perairan laut normal pada kontinental terrigenous. Biasanya transisi dari habitat laut payau menuju kondisi neritik adalah dibatasi oleh peningkatan kelimpahan dan keragaman takson calcareous. Pada kedalaman tertentu (<30-50 m) dan beriklim dingin untuk daerah tropis biasanya didominasi oleh Elphidium (misalnya, E. ekskavatum) dan Ammonia (misalnya, A. beccarii). Namun, ada pengecualian. Misalnya, ditemukan bahwa takson agglutinated mendominasi kumpulan foraminifera bentik pada kedalaman ~ 84-240 ft (~ 25-73 m). Miliolids, foraminifera bentik calcareous dengan struktur dinding porselin (misalnya, Quinqueloculina, Triloculina), dominan pada tepi terrigenous karena distribusinya dipengaruhi oleh salinitas. Biofasies dengan berlimpahnya Ammobaculites dan beberapa Quinqueloculina didiagnostik sebagai akibat pengaruh payau yang kuat seperti pada daerah muara atau delta.

Habitat Mikro Foraminifera Bentonik dan Respon Terhadap Fluks Karbon Organik & Oksigen Terlarut
Corliss dkk. menunjukkan hubungan antara morfologi test dan habitat mikro foraminifera bentik dalam sedimen. Takson epifaunal ditandai dengan morfologi plano-cembung, cembung, atau putaran trochospiral, dan taksa infaunal ditandai dengan planispiral bulat, rata, meruncing dan triserial silinder, dan tes biserial meruncing. Para penulis ini mencatat bahwa kelimpahan relatif takson infaunal lebih besar dengan meningkatnya fluks organik karbon. Selain itu, banyak penelitian foraminifera bentik telah menunjukkan spesies yang terputar trochospiral melingkar hidup beberapa sentimeter dari sedimen dan diklasifikasikan sebagai epifaunal atau infaunal dangkal.

Tingkat konsumsi oksigen oleh foraminifera bentik meningkat tajam dengan meningkatnya ukuran diameter di atas 250 mikrometer. Besarnya populasi bentik adalah terutama hasil dari pasokan makanan yang berlimpah dari zona fotik. Takson yang menunjukkan indeks oksigen rendah akan tercirikan oleh bentuk rata, runcing, dinding tes tipis dan tidak terdapat ornamen. 

Daftar Pustaka :

Bolli, Hans M. 1989. Plankton Stratigraphy. New York : Cambridge University Press. 569page.
Culver, S.J., And Buzas, M.A. 1983. Benthic foraminifera at the shelfbreak: North American Atlantic and Gulf margins: in Stanley, D.J., and Moore, G.T., eds., The Shelfbreak: Critical Interface on Continental Margins. SEPM, Special Publication 33, page 359–371.
Hayashi, Hiroki & Masaki Takahashi. 2002. Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy of the Miocene Arakawa Group in Central Japan. Revista Mexicana de Ciencias Geologicas, Volume 19, No.3, page 190-205.

Leckie, R. Mark & H.C. Olson. 2003. Foraminifera as Proxies for Sea-Level Change on Silisiclastic Margins. SEPM Special Publication No.75, page 5-19.